Jumat, 15 November 2013

Misteri SUPERSEMAR Benarkahkah Bung Karno Ditodong Untuk Tanda Tangan


Pintu kamar Bung Karno diketuk pengawal. Ada perwira Angkatan Darat yang ingin bertemu presiden. Mereka diutus oleh Suharto. Ada map merah muda di tangan salah seorang jendral. Di dalamnya berisi naskah yang mesti ditandatangani Sukarno.


Naskah itu tidak segera ditandatangani Sukarno. Dia sempat bertanya tentang mengapa kop surat itu dari Markas Besar Angkatan Darat. Seharusnya Surat Perintah itu ber-kop surat kepresidenan. Tapi pertanyaan Sukarno hanya dijawab Jendral Basuki Rachmat, “Untuk membahas, waktunya sangat sempit. Paduka tandatangani saja”.

Kesaksian ini dituturkan Sukardjo Wilardjito, mantan pengawal Presiden Sukarno. Sesudah jatuhnya Sukarno, Sukardjo pernah dipenjara oleh rezim Orba selama 14 tahun tanpa proses pengadilan, termasuk menjalani beragam penyiksaan, disetrum puluhan kali dan dipaksa mengaku PKI.


Sukardjo ini pernah mengejutkan orang dengan kesaksiannya yang bersikukuh menyatakan Basuki Rachmat dan Panggabean menodongkan pistol ke muka Sukarno karena bimbang menandatangani. Melihat itu, Sukardjo sebagai pengawal presiden secara refleks mencabut pistol untuk melindungi presiden. Namun meletakkan pistolnya kembali, karena Sukarno tidak ingin melihat pertumpahan darah. Surat yang akhirnya ditandatangani Sukarno itu dikenal kemudian dengan nama Supersemar. Surat Perintah Sebelas Maret.
Sukardjo juga bersaksi bahwa yang menghadap Sukarno adalah empat jendral dan bukan tiga jendral seperti yang disebutkan selama ini. Keempat jendral utusan Suharto itu adalah M. Yusuf, M. Panggabean, Amir Machmud dan Basuki Rachmat. Biarpun ada yang masih meragukan kesaksian Sukardjo itu, tapi dia tetap berpegang pada kesaksiannya itu. Kemudian malah menulis kesaksiannya di bukunya berjudul “Mereka Menodong Bung Karno”.
Kesaksian Sukardjo bahwa Sukarno ditodong, pernah dibantah M. Yusuf dan Panggabean sendiri. Kesaksian itu juga dibantah oleh A.M. Hanafi mantan Dubes RI di Kuba, dalam bukunya “Hanafi Menggugat”. Sehingga kebenaran kesaksian Sukardjo itu masih perlu ditelusuri lagi. Benarkah demikian?
Ditodong atau tidak, rasanya Sukarno bukan orang yang mudah digertak. Bagaimanapun, apapun alasan Sukarno menandatangani naskah Supersemar, pada dasarnya kesaksian Sukardjo itu menggambarkan situasi yang tidak kompromistik. Situasi yang membuat Sukarno terjepit. Tak ada waktu bernegosiasi. Pokoknya teken sekarang! Ada bau konspirasi di balik itu.
Dan hasilnya adalah lahirnya Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar. Bung Karno menyebutnya dengan istilah SP Sebelas Maret. Sesudah menandatangani surat itu, Bung Karno masih sempat mengatakan, bahwa surat itu mesti dikoreksi kalau keadaan sudah pulih. Permintaan itu tidak pernah terwujud, karena ketika menandatangani surat itu, tanpa disadari Sukarno sedang menandatangani kejatuhannya.
Sesudah penandatanganan Supersemar, boleh dikatakan wahyu sebagai pemimpin seakan sudah tercabut dari Sukarno. Sebagai presiden, Sukarno sudah menandatangani ribuan surat. Tapi tandatangannya di surat yang satu ini, Supersemar, menjadi pedang yang menghunus kekuasaannya sendiri.
Kita tahu, Supersemar adalah surat mandat Sukarno pada Suharto untuk mengamankan negara yang kacau akibat G30S PKI. Belakangan mandat Supersemar ini ternyata dijadikan legitimasi untuk mengambil alih kekuasaan yang menyingkirkan Sukarno. Dengan Supersemar itu Suharto memperoleh surat sakti, kemudian bergerak cepat meraih kursi presiden.
Bung Karno yang sadar bahwa Supersemar ternyata dimanipulasi, dalam pidatonya berteriak “Jangan jegal perintah saya! Jangan saya dikentuti!”. Ini ekspresi kemarahan Sukarno kepada orang-orang yang dianggapnya telah menipunya, melangkahinya dan membangkang perintahnya.
Menjelang kejatuhannya, Bung Karno mulai agak kehilangan kontrol diri. Itu tampak dari pidato-pidatonya yang emosional. Tampaknya Bung Karno mulai frustrasi. Dia sudah mulai merasa ditinggalkan dan dikhianati oleh orang-orang sekitarnya.
Salah satunya yang bikin Sukarno merasa dikentuti, seperti katanya, adalah Supersemar tadi. Bagaimana tidak? Bung Karno merasa Supersemar diplintir! Padahal Supersemar dimaksudkan Sukarno untuk memberi mandat pada Suharto agar segera memulihkan keamanan negara, bukan melengserkannya.
Kecurigaan Sukarno bahwa ada persekongkolan yang berniat memanipulasi Supersemar, tercermin dari pidatonya. Ketika itu Bung Karno mulai melihat tanda-tanda Supersemar yang disebutnya SP 11 Maret itu mulai “dimainkan” oleh Suharto. Karena itu Bung Karno menekankan berkali-kali, dirinya tidak bermaksud mengalihkan kekuasaannya pada Suharto.
Kata Bung Karno, “Dikiranya SP Sebelas Maret adalah surat penyerahan pemerintahan. Dikiranya SP Sebelas Maret itu, suatu transfer of sovereignty. Transfer of authority”. Padahal TIDAK! SP Sebelas Maret adalah suatu perintah. SP Sebelas Maret adalah suatu perintah pengamanan. Perintah pengamanan jalannya pemerintahan. Pengamanan jalannya ini pemerintahan. Seperti kukatakan dalam pelantikan kabinet. Kecuali itu juga perintah pengamanan keselamatan pribadi Presiden. Perintah pengamanan wibawa Presiden. Perintah pengamanan ajaran Presiden. Perintah PENGAMANAN beberapa hal”.
Berdasarkan pidato Sukarno di atas, timbul kecurigaan orang. Mungkinkah Supersemar “sengaja” dinyatakan hilang? Betulkah naiknya Suharto sebagai presiden adalah inskonstitusional karena bertentangan dengan amanat Supersemar? Dan karenanya Supersemar mesti lenyap secara misterius? Apakah bisa dipercaya begitu saja bahwa dokumen negara sepenting itu bisa hilang?
Dua naskah Supersemar di Arsip Nasional disebutkan hanya fotocopy. Yang janggal, dua naskah itu tidak mirip karena diketik dengan spasi berbeda. Pertanyaannya, yang manakah di antara kedua naskah itu yang otentik? Atau apakah malah keduanya sama-sama tidak otentik?
Menurut kesaksian staf intel Komando Operasi Tertinggi Gabungan-5 (G-5 KOTI) Salim Thalib, naskah Supersemar yang dikenal sekarang adalah palsu. Selain aslinya tidak serapi itu, isi naskah juga tidak sama dengan naskah aslinya.
Jadi betulkah tuduhan beberapa kalangan yang menyamakan ini dengan usaha penghilangan barang bukti? Kalau memang Supersemar tidak diplintir, apa buktinya bahwa Supersemar itu tidak diplintir?
Sebetulnya kenapa Supersemar itu mesti dirancang dan Sukarno mesti dipaksa menandatangani? Ada banyak teori konspirasi rumit tentang ini. Tapi saya tertarik dengan teori berikut ini.
Latar belakangnya tak lepas dari persaingan antara PKI dan Angkatan Darat. Sebelum terjadinya G30S, persaingan antara PKI dan Angkatan Darat sudah dalam taraf saling jegal menjegal. Bahkan PKI sampai ingin membangun “Angkatan Kelima” dalam militer.

PKI ingin menggeser Angkatan Darat. Dan Angkatan Darat ingin menggeser PKI. Apalagi ketika itu Sukarno sudah mulai sakit-sakitan. Mungkin usianya tidak lama lagi. Pokoknya siapa cepat, dia dapat. Antara PKI dan Angkatan Darat sudah betul-betul sikut-sikutan.
Begitu meletus konspirasi G30S, inilah kesempatan Angkatan Darat untuk menghancurkan saingan beratnya itu. Tak ada ampun, pokoknya PKI harus musnah. Dan penghancuran itu akan lebih afdol jika presiden sendiri yang mengumumkan pembubaran PKI. Soalnya yang punya hak untuk membubarkan partai politik cuma presiden. Itu adalah hak prerogatif presiden. Tapi tunggu punya tunggu, Sukarno kok belum mau juga membubarkan PKI. Bagaimana ini?
Angkatan Darat melalui tangan Suharto pun mengambil jalan pintas. Potong kompas. Caranya, harus dibuat sebuah surat perintah yang telah terkonsep, yang membuat Angkatan Darat jadi punya alasan yuridis melibas PKI. Konsep surat itu pun dibuat. Konsep Supersemar. Isinya perintah presiden kepada Angkatan Darat (Suharto) untuk mengamankan negara. Nah, dengan dalih mengamankan negara inilah Angkatan Darat jadi punya alasan mengganyang habis PKI. Angkatan Darat memang berlomba dengan waktu. Harus bergerak cepat. Kalau tidak, PKI bisa kembali bangkit mengumpulkan kekuatan dan mendepak jauh-jauh Angkatan Darat dari panggung kekuasaan. Now or never! Jadi sekarang Angkatan Darat tidak boleh kalah cepat!
Setelah itu Suharto memerintahkan para Jendral tadi untuk membawa surat itu kepada Sukarno. Dengan pesan khusus, “pokoknya harus ditandatangani Sukarno”.
Begitu Supersemar ditandatangani, itulah awal aksi pedang Orba. Nampaknya tanda tangan Sukarno tadi adalah pembuka jalan bagi pelaksana Supersemar untuk mengamankan yang bisa diamankan. Sesudah itu terjadi tragedi mengenaskan. Di segala pelosok negeri berkubang darah jutaan rakyat dengan alasan pembasmian PKI demi keamanan negara. Korbannya tidak saja PKI, tapi juga orang-orang yang tiba-tiba di-PKI-kan atau dipaksa mengaku PKI. Berjuta rakyat mendadak tak bermasa depan dan terampas haknya karena dicap PKI.

Tak kurang Sukarno sendiri turut menjadi korban. Sukarno mengatakan dia mengutuk sekeras-kerasnya Gestok (G30S PKI). Pelakunya harus dihukum, kalau perlu ditembak mati. Tapi orang yang memperuncing peristiwa G30S PKI, hingga terjadi provokasi membenarkan pembunuhan jutaan rakyat juga harus diadili. Apakah Sukarno bermaksud menujukan ini pada Suharto?
Yang jelas, sesudah pernyataan Sukarno itu, terjadi de-Sukarnoisasi. Kita tahu bagaimana Sukarno diisolasi, dituduh terlibat G 30 S PKI tanpa bukti yuridis.

Tentu saja tuduhan itu aneh. Karena bagaimana mungkin Sukarno dituduh melakukan kudeta terhadap dirinya sendiri? Buntutnya, semua yang berhubungan dengan Sukarno menjadi tabu dibicarakan di masa Orba. Bahkan beberapa departemen men-non-aktif-kan pegawai yang ketahuan pro-Sukarno.
Setelah skenario berjalan seperti harapan, “para perancang” Supersemar lalu mabuk kemenangan. PKI yang dulu jadi saingan utamanya untuk merebut “kursi Sukarno” sudah tersungkur. Dan Sukarno sang pemilik kursi juga sudah dipaksa meninggalkan kursinya. Suharto tak menyia-nyiakan kesempatan. Kursi yang kosong tanpa pemilik itu harus diapakan lagi kalau bukan diduduki?
Dan ketika kursi Sukarno tadi diduduki Suharto, di situlah awal mula kasak kusuk politik tentang “penyelewengan Supersemar”. Apakah betul tuduhan bahwa ada permainan sistematis Amerika di balik semua ini?
Yang jelas, dengan diselewengkannya maksud Supersemar, yang paling berbahagia adalah Amerika. Karena itu berarti jatuhnya Sukarno. Akhirnya mimpi Amerika terkabul sudah. Terang-terangan Amerika menyatakan jatuhnya Sukarno sebagai kemenangan Amerika. Presiden Richard Nixon menggambarkan kemenangan itu sebagai, “Hadiah terbesar dari Asia Tenggara”. Sudah jelas. Karena hadiah sesungguhnya terletak pada kekayaan alam Indonesia yang menanti untuk dikuras. Dan batu penghalang yang menghalang-halangi Amerika menguras alam Indonesia, yaitu Sukarno, sudah dibikin terjungkal. Inilah awal kemenangan Amerika yang sejak 10 tahun sebelumnya ingin menggulingkan Sukarno.
Bung Karno berhasil mengusir penjajahan Belanda. Tapi setelah itu Bung Karno ambruk oleh Amerika. Mungkin karena cara Amerika lebih cerdik. Soalnya Amerika tidak memegang gagang keris secara langsung untuk menikam Sukarno. Keris itu diserahkannya kepada rakyat Sukarno sendiri, yang menghujamkannya langsung ke presidennya sendiri, di antaranya melalui provokasi perebutan kekuasaan dan akhirnya menunggangi G30S.
Pasca G30S, rakyat menjadi sangat takut dengan yang kekiri-kirian. Ini artinya Indonesia meninggalkan Rusia dan berpaling ke Amerika.
Dan setelah Supersemar dijadikan surat sakti untuk memberantas sisa-sisa G30S, lalu pemegang Supersemar diangkat menjadi presiden, Indonesia berubah haluan 180 derajat. Hampir semua jabatan vital dipegang oleh perwira Angkatan darat. Sehingga rakyat berbisik takut-takut dan bertanya siapa sebetulnya yang meng-kup Sukarno?
(Sumber : ditulis oleh Walentina Waluyanti pada Kolom Kita, Belanda 4 Maret 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar